28 April 2010

Ketika Di Negeri Jiran

Mengunjungi Malaysia ketika suasana tengah memanas gara-gara isu ‘tari pendet’ di bulan September 2009 lalu, ternyata memberikan banyak pengalaman baru buat gue. Apalagi, sebelumnya, gue udah dapat banyak banget cerita soal perlakuan tak mengenakkan dari penduduk negara serumpun kita itu ke orang Indonesia. Tapi yah sutralah, kalau misalnya sampai kejadian ke gue, entar gue pura-pura ajah cuma ngarti bahasa Perancis, beres!!!

Saat tiba di imigrasi Malaysia, gue gak mendapat kesulitan berarti. Entah yah, mungkin karena penampilan gue saat itu bener-bener a la turis banget dengan tas ransel besar di punggung. Untung aja gue nggak ngikutin saran Nina untuk ngebeli dendeng babi waktu lagi ngaduk-ngaduk China Town Singapore, sehari sebelumnya. Soalnya, ternyata oh ternyata, daging babi -dalam bentuk apapun- sama sekali gak boleh masuk sana.

Pengalaman menyebalkan baru gue peroleh begitu tiba di Kuala Lumpur. Waktu itu, gue nyampe jam 5 subuh. Padahal monorail pertama baru datang jam 6. Kebetulan di sana, udah ada satu orang calon penumpang yang dari penampilannya sih, just an ordinary blue collar worker, alias buruh kasar githu. Dengan tampang menyelidik, dia mengamati gue dari atas ampe bawah. Pastinya gara-gara tas ransel besar yang ada di belakang punggung gue.

Him : Where are you come from?
Me : Indonesia!!!
Him : You orang Indon, kerja apa di sana?
Me : Sorry, I’m Indonesian, not Indon.
Him : Yah, tapi you orang Indon, kerja apa?
Me : Journalist, saya pernah interview Siti Nurhalize.

Habis itu gue ngeloyor pergi. Males deh ngeladenin orang picik kayak githu. Dalam hati geli juga. Soalnya gue tuh sama sekali belum pernah wawancara Siti. Cuma pernah ngeliat dia lewat doank, waktu lagi tampil di acara Launching Malaysian Tourism Year tahun 2007 lalu. Penjagaannya ketat banget. Maklumlah, doi kan istri Datuk K.

Sebenarnya, itu aja sih pengalaman menyebalkan selama gue di Kuala Lumpur. Rata-rata mereka malah senang yah kalau kita ajak ngomong pakai bahasa Indonesia. Seperti waktu gue lagi di atas monorail pagi itu. Teman ngobrol gue dua orang bapak-bapak yang welcome banget ngasih info soal how to go to Bukit Bintang. Maklumlah, gak kayak di Singapore, di sana sama sekali gak disediain MRT map yang makin ngebuat gue blank ketika itu. Pas tahu gue dari Jakarta, salah satu dari mereka langsung nyeletuk, ‘Wah, dia mah dari kota Metropolitan!’ Aduh, emang gue ada potongan seperti TKW yah, hehehe…

Gue sempat diskusi banyak juga lho ama orang-orang Paradiso Bed & Breakfast, hostel tempat gue nginap. Pak Cik Hazdy, sang owner dan juga Pak Cik Raden, yang ortunya ngungsi dari Yogya ke Malaysia beberapa puluh tahun silam jadi lawan diskusi yang asyik untuk ngebahas hubungan Indonesia dan Malaysia.

Semua berawal ketika gue ngeliat acara sinetron yang sedang diputar di TV. Gue spontan nanya apakah itu produksi Indonesia. Ternyata bukan. Yah udah, gue bilang aja gue pikir itu dari Indonesia karena TV berlangganan Astro TV kan banyak dibuatin sinetron ama Multivision. Gue aja pernah wawancara Restu Sinaga bulan Oktober 2006 lalu, waktu abang itu lagi syuting sinetron untuk Astro TV.

Ngobrol ngalur-ngidul, topik berlanjut ke Manohara Odelia Pinot. Gue pribadi gak suka ama dia. Mungkin karena dia tenar lebih karena blow up media akan her personal life yang terlalu didramatisir yah. Padahal kalau secara talent, belum begitu alias nggak nonjol-nonjol amat. Gue bilang aja alasan ketidaksukaan gue itu ke mereka dengan terus terang. Pak Cik Hazdy terus bilang kalau Ny. Daisy Fajarina, ibunya Manohara itu tidak berpikir secara long term. Padahal sebagai istri pangeran, tentunya kelak, Mano akan jadi permaisuri kalau Teuku Fakhry nanti naik tahta. Tapi yah sutralah, toh itu semua balik lagi ke Mano dan ibunya pribadi.

Soal tari Pendet, gue langsung bilang ke mereka bahwa itu sebenarnya kesalahan Discovery Channel yang dibayar pemerintah Malaysia untuk ngebuat iklan pariwisata mereka. Yah, namanya orang bule, mereka mana tahu lah kalau tari asal Pulau Dewata itu milik Indonesia. Jadinya asal dimasuk-masukin ajah ke iklan produksi mereka. Terus gue jabarin lagi soal masalah-masalah klaim-klaim budaya lainnya yang sempat buat panas orang Indonesia. Untung ajah, beberapa hari sebelumnya gue baca notes milik temennya mbakh Kiki soal penjelasan akan isu klaim-klaim yang disebut-sebut dilakukan ama orang Malaysia. Jadi gue gak terlalu keliatan oon lah waktu itu ;p

Topik menarik lain adalah soal perbedaan bahasa. Jadi ceritanya gue lagi sarapan sembari ditemanin Pak Cik Raden. Teman sekamar gue yang asal Iceland udah mau cabut dari sana. Dia surprise ngelihat kita berdua bercakap dalam bahasa Indonesia dan nanya, ‘Bahasa kalian sama yah?’ Kita berdua langsung jelasin aja soal banyaknya perbedaan yang terasa lucu bagi yang lain. Seperti kata ‘dukung’ yang dalam bahasa Indonesianya berarti ‘support’, sementara bagi orang Malaysia, kata itu artinya ‘menggendong’. Perkataan gue itu langsung dilanjutkan dengan Pak Cik Raden. Beliau menganggap lucu frase ‘sakit keras’ untuk merujuk ‘terribly ill’. ‘Keras’ itu kan artinya ‘hard’, tapi ‘hard’ nya di bagian yang mana, begitu ungkapnya, di sela tawa yang berderai. Sementara orang Malaysia sendiri menyebutnya ‘sakit payah’.


PS : I found it’s funny waktu petugas Airbus mau ngecek print booking-an tiket gue. ‘Pinjam sekejap,’ githu katanya. Hmmm, kalau di kita kan bilangnya ‘Pinjam sebentar.’ ;p

17 April 2010

If I Were You


If I Were You,

If I were you, I would be ashamed to myself. Pointing out to others’ mistakes without realizing my own stupidities. I keep insisting that others’ writings are not good enough to be called journalistic articles, while my own are not to be better yet.

I should reflect to myself, before correcting other articles, because what I’ve written are also filled with a lot of mistakes too. Oh, I’d better not saying this, but I should confess that I have forgot the essence of what we call the rule of journalistic writing : short and straight to the point. Instead of saying ‘giving help to the victims’, it’s way much better just to say ‘helped the victims’.

I also realize that miss-typing are must be avoided because this thing shows that I am careless and I never re-read what I have done. Well, I know I have a little problem in pronunciation, but I should have known that it’s ‘menyalip’, not ‘menyalib’ to say the word ‘to pass the other path’ because ‘menyalib’ means ‘to crucify’.

15 April 2010

Cinta Itu...

Semacam dibuang sayang, hasil beres-beres kamar hari ini dan nemuin kertas-kertas hasil wawancara dan time code. ketika masih bekerja di kantor yang lama. Semoga beberapa quotes dari pasangan selebritis ini bisa memberikan inspirasi 

1. Yana Julio dan Kania

Beda usia yang jauh, 17 tahun, tak jadi masalah bagi pasangan ini. Perbedaan ini justru membuat mereka saling mengisi. “Pengalaman-pengalaman positif yang saya alami, saya beritahukan kepada Nia dan kemudaan Nia memberikan wawasan-wawasan tentang kehidupan anak-anak sekarang. Jadi ini menjadi masukan bagi saya,” begitu aku pelantun ‘All I Am’ ini.

Mencoba memahami pasangan, begitu jurus yang ditempuh pasangan ini, “Mencoba berpikir cara Nia dan Nia juga saya ajari berpikir cara saya.” Tak hanya itu, pasangan ini juga punya jurus-jurus lain untuk mempertahankan keharmonisan rumah tangga mereka, “Terbuka dari awal, saling memberikan perhatian dan belajar membicarakan aib masing-masing.”

2. Aryo Wahab dan Mila
“Sama dia nyaman melakukan apa saja. Ariyo betul-betul dukung aku apa aja yang aku lakuin. Kalau bingung soal pekerjaan, pasti ceritanya ke dia,” puji Mila akan suaminya yang adalah personel ‘The Dance Company’ itu.

3. Jay Subiakto dan Elvara
Tak bisa dipungkiri, meskipun bukanlah patokan utama, namun fisik juga jadi pertimbangan seseorang dalam memilih pasangan. Namun, bagi Jay Subiyakto, pasangan ideal juga haruslah seseorang yang bisa menjadi partner bertukar pikiran.

“Buat saya, emang harus bagaimana kita bisa bertukar pikiran, karena buat saya, waktu pacar itu harus orang yang bisa kita bertanya, bisa kita bertukar pikiran. Jadi gak sekedar hanya ketertarikan fisik aja, tapi ada banyak sekali faktor lain yang mempengaruhi hubungan dua orang,” tandas pria berambut panjang ini.

Senada dengan suaminya, Elvara menyebutkan bila Jay adalah partner yang asyik untuk diajak berdiskusi, “Saya juga punya alasan yang mungkin sama seperti dia. Biasanya kalau cari pacar atau dekat dengan seseorang itu harus ada kesamaan. Kalau di sini, kita mungkin punya minat dan interest yang sama tentang art, tentang fashion, tentang banyak lagi yang bisa kita lakukan bersama-sama. Saya juga suka bertanya banyak sama dia karena dia kan pengalaman dan ilmu juga jauh lebih banyak dari saya. Saya merasa hubungan ini positif.”

Menghadapi riak-riak yang kerap menghiasi perjalanan rumah tangga mereka, beginilah kiat pasangan ini, “Menyatukan dua orang memang gak mudah. Harus ada tenggang rasa, harus ada kompromi dan yang penting saya rasa adalah rasa sayang dan kalau ada rasa cinta. Pasti kita bisa mengatasi semua hal.”

09 April 2010

Sabes tu, tu has tocado mi corazon?

En el primero dia yo te encontre , yo fui timida y no hable mucho.
Nosotros solo hemos hablado por 4 horas, antes nosotros os encontramos este dia.
Tu supiste mi timidez y tu lo me dices despues, “Yo pude te hacer mas nerviosa, hahaha!”

Oh, Dios mio, yo no nego más…
El es una persona simpatica
A mi, me gusta escuchar su risa y su voz
Como yo digo de vez en cuando, tu voz desplaza mi mundo, hahaha…

Si, si, yo se , various tiempos yo exagero.
Es porque yo gusto te tentar, solo te hago reir…
Del mismo modo que yo digo me duele la cabeza si no escuchar tu voz, tu has sabido es no bastante para mi, hablar con ti solo un, dos o tres horas.
Es sincero, yo no mento…

05 April 2010

‘Sentosa Island’, Singapore





On my fourth day in Singapore, I decided to go to ‘Sentosa Island’. Even this place isn’t really recommended to visit by several bloggers, but my curiosity insisted me to go. As a backpacker, I should choose the cheapest way and the option was to take bus to HarbourFront . From there, I went inside ‘Vivo City’ to buy ticket at Lobi L, Level B. It was only S$ 3 for return ticket. A lot of Singaporean choose this, instead of going by cable car or bus.

Before buying ticket, I decided to have lunch first at ‘Chicken Rice’. I spent about S$ 5,5 for a complete lunch menu, included drink. I also bought a slice of pineapple and kiwi at ‘Food Republic’, near the ticket vendor, for S$2,5.

The adventure then began! My first destination was ‘The Merlion’. Many people took a picture in front of that giant Merlion statue. Just like them, I also took a picture. The lady whom I asked to take my pictures should made several trials, before able to get the whole body of the statue from the top side.

From that place, I went to Siloso Beach. It was hot. I didn’t swim or sunbath, even the others did such activities. I just sat on the beach and watched people playing volley around me. Actually, there’s a thing I suggest you to do there : rent a bicycle to go around this beach. To do such thing, you should put deposit minimum S$ 50, depends on the type of bicycle you rent and also leave your passport.

I didn’t visit many place that day. The only thing I did after leaving the beach is to try ‘The Skyride’. It’s quite an adrenalin activity but recommended to try. Well, it’s like cable car but more adventurous because it’s only several walking chairs, as shown from the pictures bellow.

I was quite nervous because I wore sandals!!! All I did on the first round was keeping an eye on those sandals which I borrowed from my niece. I just couldn’t have any idea how to explain to her if they fall. So, on the next round, I kept them in my bag and started to enjoy the journey.

Last but not the least, ‘Songs of The Sea’. It’s a combination of singing and acting performance with fireworks display. The storyline is all about a fisherman who desires to release her beautiful princess with help from several sea creatures. All those fireworks were beautiful and I can say you shouldn’t miss this performance while you are here. It’s worth to spend your S$10 to see this spectacle