31 March 2009

Dear Abang


Je voudrais la connaître
Savoir comment elle est
Est-elle ou non bien faite
Est-elle jolie, je voudrais

Oh je voudrais la voir
Longtemps la regarder
Connaître son histoire
Et son décor et son passé

C'est étrange peut-être
Cette curiosité
Voir enfin pour admettre
Et pour ne plus imaginer

Oh je voudrais comprendre
Même si ça me casse
Puisqu'elle a pu te prendre
Puisqu'elle a pris ma place

C'est peut-être normal
C'est fou comme ça m'attire
Cette envie d'avoir mal
Oh jusqu'au bout, jusqu'à mourir

Oh je voudrais tout savoir
Et son âge et sa peau
Tout ce qui nous sépare
Et nous ressemble, c'est idiot

Et te surprendre avec elle
Quand t'es drôle quand t'es doux
T'écouter lui promettre
Et quand tu lui parles de nous

Je veux te voir encore
T'observer dans la glace
Et quand tu l'embrasses
Rentrer ton ventre, oh matador

Je veux vos corps à corps
Tous ces gestes oubliés
Te retrouver encore
Tel que je t'avais tant aimé
Dans ce froid dans ces cendres
Je voudrais rester là
Juste voir et comprendre
Tout ce que je ne suis pas
Oh.....
Ce que je ne suis pas

30 March 2009

Me Vs Persembahan


Sebuah cerita dari ‘Kumpulan Ilustrasi untuk Sekolah Minggu’ membuat aku tertarik untuk menulis blog tentang persembahan hari ini.

Ceritanya, seorang nenek memberikan sejumlah uang logam yang masih baru kepada cucunya. Tak lama, sang cucu memisahkan uang-uang logam tersebut.

Ini untuk Yesus, ini untuk ibu, ini untuk ayah, begitu seterusnya, sampai akhirnya tinggal satu uang logam

“Uang ini untuk Yesus,” begitu kata sang cucu.

Mendengar itu, sang ibu bertanya, “Bukankah tadi kamu telah memberikan untuk Yesus?”

“Ya ibu, uang yang pertama tadi adalah milik Yesus sendiri. Sedangkan yang satu ini adalah persembahanku kepadaNya,” begitu jawabnya.

Got the point ?

Sebagai orang Kristen, tentunya kita mengenal istilah ‘persembahan persepuluhan’ yang jumlahnya 10 % dari total penghasilan yang kita terima.

Dari kacamata duniawi, jumlah segitu mungkin terbilang besar, apalagi kalau mengingat susahnya kehidupan jaman sekarang.

Tapi kalau dipikir-pikir, jumlah segitu gak seberapa. Istilahnya, Tuhan udah ngasih gue berkat, masa sih gue gak mau ngasih sepuluh persennya?

Sang cucu dalam ilustrasi di atas, seolah udah paham tentang makna memberi untuk Tuhan. “Uang yang pertama tadi adalah milik Yesus sendiri. Sedangkan yang satu ini adalah persembahanku kepadaNya,” begitu tandasnya.

Penegasan ‘milik Yesus sendiri’ menunjukkan bahwa ia sudah punya kesadaran bahwa dari segala harta yang ia miliki, sebagian adalah milik DIA.

Sepuluh persen dari penghasilan kita itu memang milik Tuhan. Tapi terkadang, kita bermain hitung-hitungan dalam mengembalikan kepunyaanNya tersebut.

Seberapa banyak sih dari kita yang benar-benar memberikan sepuluh persen penghasilannya kepada DIA? I’m not trying to be judge, I’m just saying the truth. Sadly, not many people do it.

24 March 2009

Burung Bapak Kepala Desa

Seorang Kepala Desa memiliki hobi memelihara burung. Suatu pagi, burung kesayangannya hilang. Wah, marah sekali dia. Pak KaDes membawa masalah itu dalam pertemuan mingguan di desanya.

Ka Des : "Siapa di sini yang punya burung ? "

Segera, seluruh laki-laki yang hadir angkat tangan.

Kaget, pak KaDes mengoreksi : "Bukan, maksud saya adalah siapa yang pernah lihat burung ?"

Seluruh perempuan yang hadir angkat tangan.

Dengan muka merah padam pak KaDes menyambung, "Maaf, bukan itu maksud saya. Maksud saya, siapa di antara kalian yang pernah lihat burung yang bukan milik sendiri ?"

Separuh perempuan yang hadir angkat tangan.

Muka pak KaDes makin merah. Gugup.

"Maaf sekali lagi, bukan ke arah itu pertanyaan saya. Maksud saya, siapa yang pernah lihat burung saya ? "

Sontak, isteri pak KaDes angkat tangan, disusul lima perempuan lain dengan malu-malu.

Muka bu KaDes merah padam . . . . .
Muka pak KaDes merah legam . . . . .
Semua yang hadir tegang . . . . . .
Pak KaDes melarikan diri . . . .

17 March 2009

Sumpah, Gue Bingung



Sejak kejadian hari itu, semuanya emang berubah. Memang sih, secara officially, kita belum sepakat untuk mengakhiri apa yang pernah kita mulai. Tapi, terus terang, semuanya udah tidak sama lagi. Masalahnya, gue kini merasa ada jarak tak terlihat di antara kita berdua.

Jujur, kalau ditanya, gue emang masih cinta dia. Begitu juga dengan dia. Sampai-sampai, tadi siang, ketika kita lagi lunch bareng, dia sempat-sempatnya nanya, 'Kamu masih cinta gak sama Abang?'. Iya, Bang. Sampai sekarang pun, kamu masih memiliki hati aku. Tentu saja kalimat yang terakhir hanya aku simpan dalam hati. Bisa-bisa tambah GR deh dia, hahahahaha....

Sampai sejauh ini, udah banyak banget nasehat yang gue dapat dari teman-teman gue. Intinya, semuanya nyuruh gue untuk let him go. Gak ada masa depan dari hubungan kita berdua. Karena catat yah, kita berdua punya keyakinan yang berbeda. Ada lagi faktor 'X' dari dia yang bikin masalah tambah runyam. Gak heran, kalau banyak orang yang bilang gue terlalu nekad, untuk menjalin cinta dengan Abang.

Mendekat ke dia, salah. Menjauhi dia juga salah. Semua serba salah. Selama ini, gue udah terbiasa bersama dia, udah terbiasa melihat senyumnya, terbiasa mencubit hidungnya, terbiasa melihat dia nge-dumel kalau moodnya lagi gak bagus, terbiasa dengan cara makannya yang berisik, pokoknya masih banyak deh...

Entahlah, sampai kapan ini akan terus berlanjut. Benar kata Iwan, marketing baru di kantor gue, 'Semakin ditahan perasaan, malah semakin rindu. Mending jalani saja seperti biasa, tapi coba mulai posisikan diri dia sebagai seorang teman.' Hmmm, good idea. I'll try to do these things now. Wish me luck then.

13 March 2009

Belum Saatnya Pulang



Ada seorang Penginjil yang pergi menginjil ke Afrika. Istri dan anaknya mati di sana. Ketika ia pulang ke Amerika, pesawat yang ia tumpangi transit di suatu negara. Bertepatan dengan itu, naiklah rombongan tim olimpiade yang menang dan membawa pulang banyak medali.

Mereka sangat bersukacita dan merayakan kemenangan mereka di dalam pesawat tersebut. Sang penginjil hanya bisa menonton, "Oh, hebat sekali. Mereka ini adalah pahlawan-pahlawan. Mereka diperlakukan sangat istimewa."

Sewaktu mendarat dan akan turun di Los Angeles, sang penginjil memandang ke arah jendela pesawat dan melihat bentangan karpet merah. Ia melihat barisan marching band, sejumlah orang memainkan terompet, melakukan tari-tarian, memegang umbul-umbul selamat datang.

Sewaktu mereka turun, suasana diwarnai sorak-sorai, gegap gempita. Setiap anggota tim Olimpiade mendapat kalungan bunga serta ciuman manis. Luar biasa ! Penginjil ini merasa terharu, terpana serta kagum.

Setelah semua tim Olimpiade selesai turun, barulah sang Penginjil ini turun dari pesawat. Sewaktu ia turun, ia merasakan kesunyian yang sangat. Tidak ada seorang pun yang menyambutnya. Tidak Gembala Sidang, tidak Ketua Majelis dan tidak juga para jemaat. Sepertinya tidak ada yang mempedulikan dia.

Melihat kenyataan ini, sang Penginjil yang awalnya tak berniat melancarkan protes, akhirnya berkata seperti ini, "Kenapa saya ada dalam kondisi ini, Tuhan?"

Ia lalu menengadah langit dan berkata, "Tuhan, saya rasa ini semua tidak fair. Lihat tim Olimpiade tadi. Mereka memang pahlawan, mereka membawa medali dan mereka disambut meriah. Tapi istri dan anakku mati di ladang misi dan saya pulang tidak ada yang menjemput saya. Saya rasa ini tidak fair, Tuhan. Saya kan Warga Negara Amerika juga."

Tuhan pun berbisik langsung di telinganya, "AnakKu, mereka disambut karena mereka sudah pulang. Tapi kamu belum pulang anakKu. Kamu belum pulang, kamu hanya transit
di Amerika. Kamu akan pulang ke Sorga, di sana rumahmu. Dan waktu kamu pulang nanti, aku akan mengadakan penyambutan lebih dari seribu kali dari ini. Kamu tidak disambut di sini karena ini bukan rumahmu dan waktu kamu pulang, kamu pulang ke rumahmu. Istri dan anakmu bukan mati untuk orang Amerika. Mereka mati untuk KerajaanKu, anakKu. Waktu kamu pulang, seluruh malaikat akan menyambut kamu. Bahkan, istri dan anakmu akan berdiri dan mengalungkan bunga untuk kamu. Sekarang mereka sudah ada dengan aku."