23 December 2008

Bila Cewek Parbada Dikadalin

Hari Sabtu (22/12) kemarin gue boros lagi. Tapi that’s not the point yang mau gue ceritain di update gue hari ini. Ini tentang petugas tiket tempat parkir dekat Plaza Semanggi. Sumpah, gue enek banget sama tuh orang.

Gimana enggak, dia ngasih gue tiket bekas yang udah lecek banget. Pastinya, uang yang gue kasih bakal masuk ke kantong pribadinya. Hmmm, usaha korupsi yang enggak cantik.

Bayangin aja, kalau ada 100 tiket yang dia daur ulang, berapa ‘untung’ yang dia rogoh? Rp 200000,- !!! Ckkkkk…. Sayangnya, dia gak tahu siapa perempuan yang dia kasih tiket bekas itu. Udah tahu gue parbada, eh, diajakin berantem.


Yup, begitu dapat tempat parkir, gue langsung ajak Hapsari mendatangi tempat pos yang sama. Dengan alasan mau ditagih ke kantor, gue minta dikasih tiket yang baru. Gue sih gak ngelihat jelas wajah koruptor kelas teri tersebut kala itu, tapi pastinya dia tentu kecewa, memikirkan uang 2000 yang gak jadi masuk kantong dia pribadi. Coba yah, semua orang setegas gue, gue yakin kebiasaan korup seperti itu bisa diberantas.

09 December 2008

Speechless

Udah lama memang gue nggak nge-update blog gue ini. Bukannya meng-anaktiri-kan, tapi gue memang punya alasan kuat. Maklumlah, kerjaan gue itu, sepanjang hari hanya menulis dan menulis, jadi agak mabok juga yah, kalau harus terus meng-update kegiatan terbaru gue setiap hari di blog ini.

Terus terang, my life won't be the same anymore. Pasalnya, Tuhan Yesus sudah memanggil papa kami tercinta ke pangkuanNYA. Sakit memang, semua terasa seperti mimpi, karena begitu cepat dan tak disangka-sangka.

Bagaimana enggak, satu hari sebelum papa terserang stroke, aku masih sibuk ngurusin segala tetek-bengek untuk liburan ke Singapore, mengingat permohonan cuti gue udah diapprove sama kantor. Tapi yah, emang betul, manusia boleh punya rencana, tapi Tuhan juga yang menentukan.

Dengan hati (sok) ditabah-tabahin, kami sekeluarga, mama, aku dan ketiga adik sepakat untuk mencabut ventilator yang selama ini membantu pernafasan papa kami tercinta. Tepatnya tanggal 20 November 2008, pukul 16.32, dengan diiringi doa dan nyanyian rohani, kami berlima menemani papa menghembuskan nafas terakhirnya.

Sebenarnya, secara medis, papa memang sudah dinyatakan tiada, di hari Selasa, 18 November 2008, ketika ia terkena serangan stroke. Maklumlah, serangan stroke-nya tidak main-main karena mengenai batang otaknya, yang pecah di sepuluh titik serta sekitar 1,3 liter darah telah menggenangi otaknya.

Jujur, sampai saat ini pun, aku masih terus menangis, bila memikirkan kenangan-kenangan bersamanya. He's trully a type of family man, pria yang berjuang untuk keluarganya. Ayah duniawi yang benar-benar mencerminkan kasih Bapa Sorgawi di surga. True hero for our family.

Gak tahu kenapa, di hari-hari terakhirnya, waktu terasa begitu cepat berlalu, sehingga aku tidak bisa mengingat persis kenangan-kenangan terakhir bersamanya. Hanya saja, dua hari sebelum kejadian itu, entah mengapa, aku tergerak mendekati kedua orangtuaku yang sedang asyik bercengkrama di atas tempat tidur.

Seperti biasa, mama mengusirku secara halus, 'Ngapain kamu ke sini, gangguin kami pacaran aja,' Kujawab saja, 'Aku ingin dekat bapak.' Kami kemudian berbaring bertiga, aku di pojok tempat tidur, mama dan kemudian papa. Kala itu, papa sedang sibuk mengurus acara penghiburan bagi Kak Yana, istri salah satu sepupuku, tepatnya istri paribanku sih, yang baru saja kembali ditinggal orangtuanya.

Tak berselang lama, papa mencondongkan tubuhnya ke arahku. Dengan mata berbinar, ia bercerita tentang Kathleen, keponakanku yang adalah cucu pertamanya. Maklumlah, Sabtu sore-nya, papa sangat terpuaskan karena diminta menjagai 'si botak tukang ences' itu, seraya menunggu adikku selesai mengajar di YPM.

Betapa bahagianya ia bercerita kala itu. Dengan antusias, ia menyebutkan bagaimana Kathleen yang selalu menangis, ketika melihat mamaku yang mencoba menggendongnya. "Takut ngelihat mama, karena seperti nenek lampir," begitu ujarnya, seraya tertawa terbahak-bahak.

Meskipun aku tahu, papa tentu masih ingin terus melihat Kathleen tumbuh, mendampingku di hari pernikahanku dan kedua adik laki-lakiku, menghadiri tardidi alias baptisan Kathleen, acara wisuda Odith dan Deynes dan masih banyak lagi yang lain, tapi Tuhan Yesus ternyata lebih mencintainya. Kami yakin, ia sudah bahagia di sana dan kami akan membuatnya tersenyum, melihat kami dari surga sana.