19 January 2009

Dia Hanya Sejauh Doa



S'bab tangan Tuhan tak kurang panjang untuk menolong dan telinganya tak kurang panjang untuk mendengar. Ayat Alkitab inilah yang sepertinya ingin diungkapkan dalam lagu berjudul 'Dia Hanya Sejauh Doa'.

Yah, Tuhan itu memang hanya sejauh doa saja. Tapi sayangnya, sampai sekarang kita masih sering malas bertekun dalam doa. Gak usah jauh-jauh, terus-terang, belakangan ini, aku memang sedang kendor beribadah. Ditambah kondisi kakiku yang tengah digips membuat aku tidak bisa pergi ke gereja.

Gak tahu kenapa, dua hari yang lalu, aku mendapat bisikan aneh, yang gak usahlah aku jelaskan seperti apa. Bisikan itu begitu kuat, membuat aku langsung terbangun dan keheranan. *Kok bisa?*

Akhirnya aku berdoa dan bertanya, "Tuhan Yesus, kok bisa-bisanya bisikan ini muncul dalam mimpiku? Tuhan tolong berikan aku kekuatan." Setelah itu, aku kembali tertidur dan luar biasa, bisikan yang tadi itu kembali muncul, tapi dengan volume yang jauh lebih kecil sehingga tidak membuat aku kembali terusik. Aku menjadi tenang karena Tuhan telah menjagaiku malam itu.

Dorongan untuk berdoa kembali muncul tadi malam. Ini semua lantaran ribetnya persoalan yang tengah gue hadapi dengan si abang. Teman-teman yang tahu soal problem kami aja udah pusing duluan, apalagi gue yang harus menghadapi masalah-masalah tersebut. Gak tahunya, gue disuruh bawa itu dalam doa. Ajaib, hati gue mendadak tenang.

Sepertinya, gue memang harus sering-sering berdoa supaya iman gue tidak pernah luntur kepada DIA yang sudah mengorbankan nyawaNYA kepadaku. Ada amin kan?

18 January 2009

Sabtu Yang Indah

Berhubung abang harus liputan hari Sabtu (17/01) kemarin, jadinya, kami gak bisa terlalu intens ngobrol di telepon. Untungnya, datang obat mujarab yang ampuh mengurangi rasa kesepianku. Siapa lagi kalau bukan keluarga besarku di kantor.

Yah, siang menjelang sore, mami Agustin a.k.a tante Acep, Ii Hapsari yang mengaku imoet, Siti Asnah alias Mak Erot dan tak lupa Renty 'Doggy Mencong' datang bertandang ke rumahku. Sungguh kebahagiaan yang tak ternilai harganya.

Kami mengobrol banyak kala itu dan yang pastinya topik utama hari itu abang, abang dan abang, hehehe... Si 'Doggy Mencong' masih gak percaya aja tentang aku dan si abang, hehehe. Gue tambah ngakak denger pengakuan Mak Erot yang sempat ribut mencari tahu wujud asli si abang.

Duh, berkumpul bersama mereka membuat gue jadi pengen cepat-cepat lagi masuk kantor. Meskipun sebenarnya dalam hati kecil, gue masih enjoy istirahat di rumah, tapi mau gak mau, gue harus muncul hari Rabu (21/01) mendatang mengingat kondisi keuangan gue yang tak menentu sekarang, hehehe...

16 January 2009

Qui Veut de Moi? Personne


Baru aja ngelihat status di msn messenger-nya dia, lelaki Perancis yang gak usahlah disebutkan namanya. "Qui veut de moi? Personne", yang kira-kira artinya "Siapa yang mau sama saya? Tidak seorang pun"

Kalau boleh jujur, itu semua total kesalahan dia. Dua tahun lebih gue mencoba bersabar, tapi gue selalu merasa langkah kami jalan di tempat. Gue coba kasih solusi, yang menurut gue *cara benar seorang pria yang gentleman yang ingin serius dengan wanita yang ia cintai*, tapi dia menolak. Gak heran kalau lambat-laun gue jadi ilfil ke dia.

Waktu gue ceritain ke abang tentang alasan gue udah gak betah sama dia, konflik yang gak pernah ditemukan jalan keluarnya *keengganan dia datang ke Jakarta untuk menemui kedua orangtua gue (waktu itu papa masih hidup)*, abang malah balik bertanya, "Kenapa sih cowok itu kayak githu?"

Yang lalu biarlah berlalu, sekarang toh, gue udah menemukan seseorang yang mau datang ke rumah gue, menemui orangtua gue, hehehe...

14 January 2009

2 Korintus 6 : 14



Apa yang tengah gue jalani saat ini dengan Si Abang mengundang berbagai macam reaksi. Maklumlah, kami mempunyai perbedaan yang sangat prinsipal, keyakinan. Sampai-sampai, salah satu rekan guru mamaku tercinta mencoba menasehati. Aku rasa sih, ini semua lantaran curhat mama tentang borunya yang sedang bermain api.

Jadinya, begitu nyampe di rumah tadi sore, mama ngasih selembar kertas berisi satu ayat Alkitab, 2 Korintus 6 : 14. "Baca, dari ibu Dianne," begitu kata mama. Bukannya bergegas mengambil Alkitab, aku malah menjawab pendek, "Oh!" dan kemudian melanjutkan permainan di komputer.

Malam harinya, selagi asyik bercengkrama di telepon dengan Abang, mama datang menghampiriku di kamar. "Udah kau baca?," cecernya. "Oh itu, janganlah kamu menjadi pasangan yang tidak seimbang, sebab apakah persamaan antara yang gelap dan yang terang?," jawabku, santai.

Heran dengan jawabanku, mama berucap, "Kok tahu?"

Yah iyalah ma, secara aku nasehatin teman-temanku pake ayat itu, hehehe...

06 January 2009

Hanya Kamu Yang Bisa



Tanpa terasa kau curi hatiku
Dengan berbeda caramu menaklukan hati kecilku
Berjuta rayuan yang pernah ku rasa
Namun tak pernah tersentuh tak ada yang mengesankanku

Tapi semua berbeda
Saat kau ada disini
Mempesonakan aku selalu

Hanya kamu yang bisa
Membuat aku jadi tergila-gila
Membuat aku jatuh cinta
Karna tak ada yang lain sepertimu

Berkali ku mencoba
Berpaling dengan makhluk indah lainnya
Namun tak pernah ku rasakan
Bila seindah bercinta ku denganmu

23 December 2008

Bila Cewek Parbada Dikadalin

Hari Sabtu (22/12) kemarin gue boros lagi. Tapi that’s not the point yang mau gue ceritain di update gue hari ini. Ini tentang petugas tiket tempat parkir dekat Plaza Semanggi. Sumpah, gue enek banget sama tuh orang.

Gimana enggak, dia ngasih gue tiket bekas yang udah lecek banget. Pastinya, uang yang gue kasih bakal masuk ke kantong pribadinya. Hmmm, usaha korupsi yang enggak cantik.

Bayangin aja, kalau ada 100 tiket yang dia daur ulang, berapa ‘untung’ yang dia rogoh? Rp 200000,- !!! Ckkkkk…. Sayangnya, dia gak tahu siapa perempuan yang dia kasih tiket bekas itu. Udah tahu gue parbada, eh, diajakin berantem.


Yup, begitu dapat tempat parkir, gue langsung ajak Hapsari mendatangi tempat pos yang sama. Dengan alasan mau ditagih ke kantor, gue minta dikasih tiket yang baru. Gue sih gak ngelihat jelas wajah koruptor kelas teri tersebut kala itu, tapi pastinya dia tentu kecewa, memikirkan uang 2000 yang gak jadi masuk kantong dia pribadi. Coba yah, semua orang setegas gue, gue yakin kebiasaan korup seperti itu bisa diberantas.

09 December 2008

Speechless

Udah lama memang gue nggak nge-update blog gue ini. Bukannya meng-anaktiri-kan, tapi gue memang punya alasan kuat. Maklumlah, kerjaan gue itu, sepanjang hari hanya menulis dan menulis, jadi agak mabok juga yah, kalau harus terus meng-update kegiatan terbaru gue setiap hari di blog ini.

Terus terang, my life won't be the same anymore. Pasalnya, Tuhan Yesus sudah memanggil papa kami tercinta ke pangkuanNYA. Sakit memang, semua terasa seperti mimpi, karena begitu cepat dan tak disangka-sangka.

Bagaimana enggak, satu hari sebelum papa terserang stroke, aku masih sibuk ngurusin segala tetek-bengek untuk liburan ke Singapore, mengingat permohonan cuti gue udah diapprove sama kantor. Tapi yah, emang betul, manusia boleh punya rencana, tapi Tuhan juga yang menentukan.

Dengan hati (sok) ditabah-tabahin, kami sekeluarga, mama, aku dan ketiga adik sepakat untuk mencabut ventilator yang selama ini membantu pernafasan papa kami tercinta. Tepatnya tanggal 20 November 2008, pukul 16.32, dengan diiringi doa dan nyanyian rohani, kami berlima menemani papa menghembuskan nafas terakhirnya.

Sebenarnya, secara medis, papa memang sudah dinyatakan tiada, di hari Selasa, 18 November 2008, ketika ia terkena serangan stroke. Maklumlah, serangan stroke-nya tidak main-main karena mengenai batang otaknya, yang pecah di sepuluh titik serta sekitar 1,3 liter darah telah menggenangi otaknya.

Jujur, sampai saat ini pun, aku masih terus menangis, bila memikirkan kenangan-kenangan bersamanya. He's trully a type of family man, pria yang berjuang untuk keluarganya. Ayah duniawi yang benar-benar mencerminkan kasih Bapa Sorgawi di surga. True hero for our family.

Gak tahu kenapa, di hari-hari terakhirnya, waktu terasa begitu cepat berlalu, sehingga aku tidak bisa mengingat persis kenangan-kenangan terakhir bersamanya. Hanya saja, dua hari sebelum kejadian itu, entah mengapa, aku tergerak mendekati kedua orangtuaku yang sedang asyik bercengkrama di atas tempat tidur.

Seperti biasa, mama mengusirku secara halus, 'Ngapain kamu ke sini, gangguin kami pacaran aja,' Kujawab saja, 'Aku ingin dekat bapak.' Kami kemudian berbaring bertiga, aku di pojok tempat tidur, mama dan kemudian papa. Kala itu, papa sedang sibuk mengurus acara penghiburan bagi Kak Yana, istri salah satu sepupuku, tepatnya istri paribanku sih, yang baru saja kembali ditinggal orangtuanya.

Tak berselang lama, papa mencondongkan tubuhnya ke arahku. Dengan mata berbinar, ia bercerita tentang Kathleen, keponakanku yang adalah cucu pertamanya. Maklumlah, Sabtu sore-nya, papa sangat terpuaskan karena diminta menjagai 'si botak tukang ences' itu, seraya menunggu adikku selesai mengajar di YPM.

Betapa bahagianya ia bercerita kala itu. Dengan antusias, ia menyebutkan bagaimana Kathleen yang selalu menangis, ketika melihat mamaku yang mencoba menggendongnya. "Takut ngelihat mama, karena seperti nenek lampir," begitu ujarnya, seraya tertawa terbahak-bahak.

Meskipun aku tahu, papa tentu masih ingin terus melihat Kathleen tumbuh, mendampingku di hari pernikahanku dan kedua adik laki-lakiku, menghadiri tardidi alias baptisan Kathleen, acara wisuda Odith dan Deynes dan masih banyak lagi yang lain, tapi Tuhan Yesus ternyata lebih mencintainya. Kami yakin, ia sudah bahagia di sana dan kami akan membuatnya tersenyum, melihat kami dari surga sana.