Mengunjungi Malaysia ketika suasana tengah memanas gara-gara isu ‘tari pendet’ di bulan September 2009 lalu, ternyata memberikan banyak pengalaman baru buat gue. Apalagi, sebelumnya, gue udah dapat banyak banget cerita soal perlakuan tak mengenakkan dari penduduk negara serumpun kita itu ke orang Indonesia. Tapi yah sutralah, kalau misalnya sampai kejadian ke gue, entar gue pura-pura ajah cuma ngarti bahasa Perancis, beres!!!
Saat tiba di imigrasi Malaysia, gue gak mendapat kesulitan berarti. Entah yah, mungkin karena penampilan gue saat itu bener-bener a la turis banget dengan tas ransel besar di punggung. Untung aja gue nggak ngikutin saran Nina untuk ngebeli dendeng babi waktu lagi ngaduk-ngaduk China Town Singapore, sehari sebelumnya. Soalnya, ternyata oh ternyata, daging babi -dalam bentuk apapun- sama sekali gak boleh masuk sana.
Pengalaman menyebalkan baru gue peroleh begitu tiba di Kuala Lumpur. Waktu itu, gue nyampe jam 5 subuh. Padahal monorail pertama baru datang jam 6. Kebetulan di sana, udah ada satu orang calon penumpang yang dari penampilannya sih, just an ordinary blue collar worker, alias buruh kasar githu. Dengan tampang menyelidik, dia mengamati gue dari atas ampe bawah. Pastinya gara-gara tas ransel besar yang ada di belakang punggung gue.
Him : Where are you come from?
Me : Indonesia!!!
Him : You orang Indon, kerja apa di sana?
Me : Sorry, I’m Indonesian, not Indon.
Him : Yah, tapi you orang Indon, kerja apa?
Me : Journalist, saya pernah interview Siti Nurhalize.
Habis itu gue ngeloyor pergi. Males deh ngeladenin orang picik kayak githu. Dalam hati geli juga. Soalnya gue tuh sama sekali belum pernah wawancara Siti. Cuma pernah ngeliat dia lewat doank, waktu lagi tampil di acara Launching Malaysian Tourism Year tahun 2007 lalu. Penjagaannya ketat banget. Maklumlah, doi kan istri Datuk K.
Sebenarnya, itu aja sih pengalaman menyebalkan selama gue di Kuala Lumpur. Rata-rata mereka malah senang yah kalau kita ajak ngomong pakai bahasa Indonesia. Seperti waktu gue lagi di atas monorail pagi itu. Teman ngobrol gue dua orang bapak-bapak yang welcome banget ngasih info soal how to go to Bukit Bintang. Maklumlah, gak kayak di Singapore, di sana sama sekali gak disediain MRT map yang makin ngebuat gue blank ketika itu. Pas tahu gue dari Jakarta, salah satu dari mereka langsung nyeletuk, ‘Wah, dia mah dari kota Metropolitan!’ Aduh, emang gue ada potongan seperti TKW yah, hehehe…
Gue sempat diskusi banyak juga lho ama orang-orang Paradiso Bed & Breakfast, hostel tempat gue nginap. Pak Cik Hazdy, sang owner dan juga Pak Cik Raden, yang ortunya ngungsi dari Yogya ke Malaysia beberapa puluh tahun silam jadi lawan diskusi yang asyik untuk ngebahas hubungan Indonesia dan Malaysia.
Semua berawal ketika gue ngeliat acara sinetron yang sedang diputar di TV. Gue spontan nanya apakah itu produksi Indonesia. Ternyata bukan. Yah udah, gue bilang aja gue pikir itu dari Indonesia karena TV berlangganan Astro TV kan banyak dibuatin sinetron ama Multivision. Gue aja pernah wawancara Restu Sinaga bulan Oktober 2006 lalu, waktu abang itu lagi syuting sinetron untuk Astro TV.
Ngobrol ngalur-ngidul, topik berlanjut ke Manohara Odelia Pinot. Gue pribadi gak suka ama dia. Mungkin karena dia tenar lebih karena blow up media akan her personal life yang terlalu didramatisir yah. Padahal kalau secara talent, belum begitu alias nggak nonjol-nonjol amat. Gue bilang aja alasan ketidaksukaan gue itu ke mereka dengan terus terang. Pak Cik Hazdy terus bilang kalau Ny. Daisy Fajarina, ibunya Manohara itu tidak berpikir secara long term. Padahal sebagai istri pangeran, tentunya kelak, Mano akan jadi permaisuri kalau Teuku Fakhry nanti naik tahta. Tapi yah sutralah, toh itu semua balik lagi ke Mano dan ibunya pribadi.
Soal tari Pendet, gue langsung bilang ke mereka bahwa itu sebenarnya kesalahan Discovery Channel yang dibayar pemerintah Malaysia untuk ngebuat iklan pariwisata mereka. Yah, namanya orang bule, mereka mana tahu lah kalau tari asal Pulau Dewata itu milik Indonesia. Jadinya asal dimasuk-masukin ajah ke iklan produksi mereka. Terus gue jabarin lagi soal masalah-masalah klaim-klaim budaya lainnya yang sempat buat panas orang Indonesia. Untung ajah, beberapa hari sebelumnya gue baca notes milik temennya mbakh Kiki soal penjelasan akan isu klaim-klaim yang disebut-sebut dilakukan ama orang Malaysia. Jadi gue gak terlalu keliatan oon lah waktu itu ;p
Topik menarik lain adalah soal perbedaan bahasa. Jadi ceritanya gue lagi sarapan sembari ditemanin Pak Cik Raden. Teman sekamar gue yang asal Iceland udah mau cabut dari sana. Dia surprise ngelihat kita berdua bercakap dalam bahasa Indonesia dan nanya, ‘Bahasa kalian sama yah?’ Kita berdua langsung jelasin aja soal banyaknya perbedaan yang terasa lucu bagi yang lain. Seperti kata ‘dukung’ yang dalam bahasa Indonesianya berarti ‘support’, sementara bagi orang Malaysia, kata itu artinya ‘menggendong’. Perkataan gue itu langsung dilanjutkan dengan Pak Cik Raden. Beliau menganggap lucu frase ‘sakit keras’ untuk merujuk ‘terribly ill’. ‘Keras’ itu kan artinya ‘hard’, tapi ‘hard’ nya di bagian yang mana, begitu ungkapnya, di sela tawa yang berderai. Sementara orang Malaysia sendiri menyebutnya ‘sakit payah’.
PS : I found it’s funny waktu petugas Airbus mau ngecek print booking-an tiket gue. ‘Pinjam sekejap,’ githu katanya. Hmmm, kalau di kita kan bilangnya ‘Pinjam sebentar.’ ;p
5 Destinasi Wisata Otentik Bali
5 weeks ago